Butterfly
Senin, 18 Juni 2012
Musik Bambu
Musik Bambu
Kelompok musik dari SD Negeri Randanan, Makale, Tana Toraja, Sulawesi Selatan, sedang memainkan musik bambu tradisional Toraja yang disebut “Pa’pompang” dalam acara pesta pemakaman almarhum Martha Uttu di Balaba’, Makale, Tana Toraja. Kalau masyarakat Sunda, Jawa Barat bangga dengan musik angklung, orang Toraja pun memiliki musik bambu. Orang Toraja menyebutnya Pa’pompang atau Pa’baskarena suara bas terdengar dominan. Musik tradisional ini seakan melengkapi kekayaan budaya dan wisata Tana Toraja, Sulawesi Selatan (Sulsel). Apa bedanya dengan angklung atau musik bambu lainnya? Suara yang dihasilkan angklung bisa digolongkan akustik, sedangkan musik bambu Toraja adalah jenis musik tiup.
Suara musik tradisional ini memang khas dan bisa menghasilkan dua setengah oktaf tangga nada. Meski tradisional, alat musik ini bisa dikolaborasikan dengan alat musik lainnya seperti terompet, saksofon, organ atau piano dan bisa digunakan untuk mengiringi semua lagu. Alat musik ini dibuat dari potongan-potongan bambu, mulai dari yang kecil sampai yang besar. Suara yang dihasilkan potongan-potongan bambu dengan rangkaian khusus itu pun sesuai dengan ukuran besar kecilnya. Karena itu, agar menghasilkan kombinasi suara yang harmonis, ukuran bambunya beragam sesuai nada yang akan dihasilkan. Satu kelompokPa’pompang biasanya terdiri dari 25 atau 35 orang berikut peniup suling. Alat musik bambu ini bisa dimainkan orang dewasa maupun anak-anak SD bahkan anak TK sekalipun. Anak kecil malah lebih gampang mempelajari jenis musik ini dibanding orang dewasa.
Potongan bambu yang besar dan tinggi menghasilkan nada rendah. Sebaliknya, potongan bambu yang kecil menghasilkan nada tinggi. Potongan-potongan bambu itu awalnya dilubangi dan dirangkai sedemikian rupa, sehingga menghasilkan bunyi. Agar pertemuan bambu tersebut kuat, biasanya diikat dengan rotan, sedangkan celah sambungannya ditutup dengan ter atau aspal agar suara yang dihasilkan bulat tidak cempreng. Namanya musik bambu, materialnya memang serba bambu, termasuk suling atau seruling sebagai pengiringnya. Bambu yang dipilih, biasanya bambu yang tipis dan ruasnya panjang, tidak cacat, lurus dan tua.
Melestarikan Alam Toraja memang sangat kaya dengan aneka macam bambu. Kalau tidak ada bambu, bisa saja digantikan dengan pipa pralon. Hanya saja, selain harganya mahal, ukuran pipanya sulit disesuaikan dengan ukuran bambu. Lagi pula, bambu memang lebih alami dan kelihatan antik. Suling bambu merupakan pelengkap Pa’pompang. Suling mempunyai tujuh lubang, termasuk yang ditiup di ujungnya. Semuel Linggi (62) adalah salah seorang yang berjasa melestarikan dan mengembangkan musik tradisional Toraja ini. Pensiunan guru Sekolah Menengah Kejuaruan (SMK) Kristen Makale Tana Toraja ini, boleh disebut pakar musik bambu Toraja. Dia bukan hanya piawai memainkan musik bambu atau Pa’pompang. Suami dari Tabita Tarru ini adalah guru sekaligus produsen musik bambu Toraja.
Semuel belajar musik bambu bersama anak sekolah minggu di gereja tahun 1960-an. Semuel sudah menjadi pelatih musik bambu ketika duduk di kelas dua Sekolah Menengah Ekonomi Atas (SMEA) Kristen Makale. Setamat dari SMEA yang kini berubah menjadi SMK tersebut tahun 1965, Semuel mengajar di Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP), dan akhirnya guru SMEA hingga pensiun. Selain dikenal sebagai guru matematika, Semuel berprofesi ganda sebagai guru sekaligus produsen musik bambu. Tidak heran, dia diminta melatih kelompok musik bambu di hampir semua wilayah Toraja. Namanya cukup dikenal sebagai pemusik bambu, hingga Semuel diminta mengajar musik bambu di luar daerahnya, seperti daerah tetangga Toraja, yakni Kabupaten Enrekang, Sulsel. Tetapi, murid-muridnya di daerah itu belakangan mengklaim musik bambu Toraja sebagai musik tradisional Enrekang.
Menurut Semuel, musik bambu tradisional Toraja itu hampir mirip dengan musik tiup dari cangkang kerang di Minahasa, Sulawesi Utara. Awalnya, sejumlah guru asal Manado yang ditempatkan di Toraja membuat musik bambu, tetapi potongan bambunya hanya dilubangi, tidak dirangkai seperti yang dibuat orang Toraja dengan penuh kreasi. Selain ke Enrekang, Semuel pun telah dipanggil ke beberapa daerah mengajarkan musik bambu. Dia telah berpetualang ke Kalimantan seperti ke Balikpapan, Bontang, Nunukan, Tenggarong menularkan ilmu musik bambu itu.
Komunitas Toraja.
Umumnya yang meminta Semuel mengajar musik bambu adalah komunitas masyarakat Toraja di perantauan yang rindu dan ingin belajar sekaligus melestarikan musik tradisional kampung halamannya. Selain ke Kalimantan, Semuel pun mengajarkan ilmunya ke di Sorong Papua. Tetapi di daerah ini, tidak hanya orang Toraja yang tertarik, orang Papua asli pun antusias belajar musik bambu. Pulau Jawa pun sudah dirambah Semuel. Ikatan Keluarga Toraja (IKAT) bersama jemaat Gereja Toraja Depok, Jawa Barat misalnya, tidak ketinggalan menimba ilmu sang guru musik bambu ini. Selain dipergunakan sebagai musik pengiring dalam kebaktian di gereja, Pa’pompang sering ditampilkan dalam acara-acara khusus komunitas Toraja di Depok dan Jakarta seperti pada pesta perkawinan. Di Depok, tidak hanya Semuel yang didatangkan. Satu set musik bambu produksinya juga dipesan langsung dari Toraja.
Satu set musik bambu Toraja yang terdiri dari 35 unit dijual Rp 2 juta. Harga itu belum termasuk ongkos kirim. Dalam satu bulan, Semuel yang kini dibantu anak berikut menantunya, mampu menyelesaikan dua set musik bambu. Kini musik bambu Toraja telah tersebar di sejumlah daerah. Semuel optimistis, musik bambu tersebut bisa lestari, sebab mereka yang telah dilatih termasuk di perantauan, secara tidak langsung adalah kadernya. [SP/Marselius Rombe Baan]
*Berbagai Sumber*