Aku tak percaya ini terjadi padaku. Aku, seorang pembantu dan menyukai majikanku sendiri. Benar-benar tak tahu diri. Mungkin begitu anggapan sebagian orang. Mirip seperti sinetron-sinetron yang biasanya tayang selepas Magrib. Temanku pernah mengatakan bahwa cinta itu manis bahkan lebih manis daripada madu. Tapi cinta itu juga pahit bahkan lebih pahit dari empedu. Bagiku, kalimat temanku itu ada benarnya. Sangat benar malah. Apalagi kalimatnya yang terakhir. Cinta itu memang menyakitkan. Pahit melebihi empedu. Benar kata ibuku, apa yang indah maka pahitnya pun sepadan dengan indahnya. Kini aku mengerti. Bisa kau bayangkan, bagaimana perasaanmu ketika engkau mencintai seseorang namun orang itu tidak pernah tahu akan cinta yang kita miliki. Kau berusaha memberikan segala-galanya kepada orang yang kau kasihi tapi kau tak mendapatkan apapun. Cintamu bertepuk sebelah tangan. Sakit. Benar, sangat sakit. Aku pernah baca bahwa cinta sejati tidak mengharapkan imbalan. Nonsense! Aku tidak yakin kebenaran kalimat itu. Aku malah bertanya-tanya apakah cinta seperti itu ada di bumi yang orang-orangnya selalu pamrih ini. Apalagi dalam kasusku, aku merasakan hal yang sebaliknya. Untuk sang cinta, aku melakukan sesuatu untuk menarik perhatiannya. Aku mengharapkan sesuatu darinya. Meski itu hanya sesungging senyum atau mungkin ucapan terima kasih. Lalu.. apakah itu salah? Tidakkah aku cukup layak mendapatkannya?Tapi..aku cuma seorang gadis lemah. Aku hanyalah pembantu.
Orang mungkin menganggap ini cinta buta. Love is Blind. Tapi bagiku tidak! Aku tidak buta. Aku tahu siapa orang yang kucinta. Ia benar-benar layak untuk aku cintai! Tapi aku sungguh tidak layak baginya.Aku hanyalah babu. Aku manusia dengan status social yang tidak bisa dibanggakan. Tapi aku manusia biasa yang bisa saja jatuh cinta. Kebetulan saja cintaku tertambat pada majikanku sendiri. Aku ingin berteriak pada dunia dan bertanya. Apakah seorang pembantu dilarang mencintai? Berarti Tuhan itu tidak adil. Dia yang mendatangkan rasa. Namun kenapa harus pada orang-orang tertentu saja? Bukankah Ia Maha Adil? Mari kita bicara dari sisi hak asasi manusia. Tidakkah cinta adalah hak asasi tiap manusia? Manusia adalah siapa saja. Bisa laki-laki atau perempuan. Termasuk aku. Seorang pembantu. Seorang gadis lemah. Yang saat ini mencintai majikannya. Titik. Apakah aku harus membuang jauh-jauh anugrah yang telah aku terima ini?
Jika aku harus memilih, aku sangat tidak mau jadi pembantu rumah tangga. Bahkan aku tidak akan pernah mau dilahirkan ke dunia ini. Tapi aku harus mau. Keluargaku sungguh hidup berada dibawah garis kemiskinan. Bapak yang hanya menjadi seorang kuli bangunan tidak memiliki penghasilan yang tetap. Sementara ibuku tidak bisa apa-apa membantu bapak. Oleh karena keadaan kami yang dari hari ke hari kian memburuk, maka sebagai anak perempuan pertama, aku hanya bisa menikmati pendidikan di madrasah. Sementara kelima adiku tidak jauh berbeda denganku. Keadaan inilah yang membuat aku terpaksa harus menggeluti profesi pembantu karna tak sedikitpun keterampilan yang aku miliki, selain mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Kelebihanku yang lain hanyalah satu. Aku gemar membaca. Tapi ini tidak menunjang karirku sebagai pembantu. Pekerjaaku sebagai pembantu bahkan tidak menuntutku harus membaca banyak buku. Pekerjaan mengepel, menyapu dan memasak bisa dikerjakan dengan mudah.
Jika aku harus memilih, aku sangat tidak mau jadi pembantu rumah tangga. Bahkan aku tidak akan pernah mau dilahirkan ke dunia ini. Tapi aku harus mau. Keluargaku sungguh hidup berada dibawah garis kemiskinan. Bapak yang hanya menjadi seorang kuli bangunan tidak memiliki penghasilan yang tetap. Sementara ibuku tidak bisa apa-apa membantu bapak. Oleh karena keadaan kami yang dari hari ke hari kian memburuk, maka sebagai anak perempuan pertama, aku hanya bisa menikmati pendidikan di madrasah. Sementara kelima adiku tidak jauh berbeda denganku. Keadaan inilah yang membuat aku terpaksa harus menggeluti profesi pembantu karna tak sedikitpun keterampilan yang aku miliki, selain mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Kelebihanku yang lain hanyalah satu. Aku gemar membaca. Tapi ini tidak menunjang karirku sebagai pembantu. Pekerjaaku sebagai pembantu bahkan tidak menuntutku harus membaca banyak buku. Pekerjaan mengepel, menyapu dan memasak bisa dikerjakan dengan mudah.
Pertama kali aku datang ke rumah ini aku merasa asing. Namun perasaan asing itu hilang pelan-pelan ketika aku menemukan sosok laki-laki berwajah hangat, yang tak lain adalah majikanku. Ia sungguh santun dan bersahaja. Kulitnya putih. Rambutnya selalu disisir rapi. Ada sebaris kumis tipis di atas bibirnya dengan sejumput jenggot didagunya. Matanya teduh sekali. Badannya tegap. Cara ia berjalan sungguh sangat berwibawa. Semua itu membuat ia sangat sempurna di mataku. Bagiku, ia lelaki sejati. Hatiku bergetar hebat tiap berpapasan. Jiwaku luluh. Batinku merintih. Melihatnya sungguh membuat hatiku tentram. Sangat tentram. Tentu saja aku hanya mampu curi-curi pandang ketika mengepel. Aku belum pernah merasakan hal ini sebelumnya. Menurut majalah Si Sulung, yang pernah aku baca, ini adalah tanda-tanda cinta. Aku lupa jika aku adalah pembantunya. Aku bukan siapa-siapa. Aku Icih. Usia 20 tahun. Gadis kampung tamatan madrasah. Kesadaran ini menamparku. Perih sekali. Aku seolah tidak mau terima jika ia ternyata adalah majikanku. Menerimanya sama dengan mengubur hidup-hidup cintaku yang sedang mekar. Aku masih ingat dengan sangat jelas, bagaimana dia menyambutku di hari pertama itu. Sama sekali ia tidak memperlakukan aku sebagai pembantu tapi sebagai seorang manusia yang sederajat dengannya.
“Selamat datang di rumah sederhana kami. Semoga Putri betah tinggal di sini. Mulai hari ini, Putri adalah bagian dari keluarga kami.” Ia mengucapkan kalimat itu dengan sangat berwibawa dengan senyum di wajahnya yang indah dan menawan. Ia bahkan tidak bilang semoga aku betah kerja di sini melainkan tinggal di sini. Tidak seperti majikan lain pada umumnya. Di sini, aku diperlakukan seperti keluarga. Bukan sebagai pembantu.
“Selamat datang di rumah sederhana kami. Semoga Putri betah tinggal di sini. Mulai hari ini, Putri adalah bagian dari keluarga kami.” Ia mengucapkan kalimat itu dengan sangat berwibawa dengan senyum di wajahnya yang indah dan menawan. Ia bahkan tidak bilang semoga aku betah kerja di sini melainkan tinggal di sini. Tidak seperti majikan lain pada umumnya. Di sini, aku diperlakukan seperti keluarga. Bukan sebagai pembantu.
Caranya memperlakukanku membuatku kagum. Ia memperlakukanku sebagai manusia. Bukan sebagai budak. Bukan sebagai pembantu. Bukan sebagai manusia kelas dua. Lambat laun perasaan kagum itu menumbuhkan benih-benih cinta dihatiku. Ia sungguh sosok suami yang begitu arif kepada keluarganya. Ia tak pernah membentak atau marah. Ketika suatu hati istrinya menyiapkan air hangat untuk dirinya namun ternyata air itu terlalu panas untuk dipakai mandi, tak sedikitpun ia mengomel atau mengeluh.
Tak terasa sudah hampir tiga tahun aku tinggal dirumah ini. Bukan semata-mata karna kebutuhan ekonomi lagi aku bertahan sebagai pembantu melainkan karna rasa cinta inilah biangnya. Meski aku sadar sepenuh jiwa, cintaku tak berbalas. Kenyataan ini membuatku sakit. Aku tidak tahu bagaimana menyembuhkan sakit yang kuderita. Sakit karena mencintai majikanku sendiri.
***
Ada yang berbeda dua minggu ini. Entah kenapa, majikanku itu tidak pernah lagi tersenyum padaku. Aku sudah menganalisa diri. Mungkin aku bersalah. Tapi seingatku aku tidak pernah melakukan kesalahan apapun. Ah, mungkin bukan karena aku. Mungkin ia lagi banyak kerjaan. Mungkin ia lagi ada masalah. Oh, cintaku, aku tidak bisa melihatmu begini. Sungguh!
Pagi ini aku bangun lebih awal. Seperti biasa aku memulai aktifitasku dengan menyapu halaman depan, menyiram bunga, kemudian membuatkan sarapan untuk orang serumah. Ini dia kesempatanku. Aku akan membuatkan sarapan yang tidak biasa. Aku tahu betul kesukaan seluruh penghuni rumah yang ada disini. Jadi aku putuskan untuk membuat combro pagi ini. Mungkin, makanan ini terlalu sederhana, mengingat keluarga ini sangat kaya. Kendati begitu, tetap saja, mereka menyukai makanan rakyat ini. Bukan macaroni panggang atau pizza seperti kebanyakan keluarga kaya lainnya. Tak jarang, jika majikanku pulang bisnis dari Bogor, pastilah combro yang menjadi oleh-olehnya. Bogor terkenal akan combronya yang renyah dan enak.
“Wah, mba puttt… pagi ini bikin combro ya!” Teriak Si Sulung.
“Aku yang coba pertama kali ya!” Sahut Latif anak kedua tuan Bahri.
“Wah combronya renyah dan enak.” Timpal bu Fredy
Pak Bahri ikut mencomot dan mengunyah makanan buatanku itu. Aku terkesiap. Ayo.. ayo… pak Fredy, aku menunggu pujianmu. Aku menantikan senyum itu. Ucapkanlah sesuatu. Tersenyumlah sedikit saja, Pak. Pandanglah aku. Detik demi detik bergulir. 15 menit berlalu. 15 menit itu sangat lama. Seperti satu abad lamanya. Hingga pada akhirnya, penantian itu menjadi sia-sia. Pagi ini aku tetap tidak mendapatkan senyum itu. Senyum yang akan membuat hari-hariku seperti pelangi. Indah. Indah sekali.
Menyadari aku tidak memperoleh yang kuinginkan, kakiku lunglai. Tubuhku lemas tak berdaya. Hatiku perih. Rasanya seperti dicambuk ribuan kali. Aku lebih memilih dicambuk ribuan kali daripada aku harus mendapatkan wajah dingin itu. Teman, kau memang benar. Cinta itu sungguh sangat pahit. Bahkan lebih pahit daripada empedu.
Kejadian itu sungguh membuatku terpukul. Penantianku ternyata sia-sia. Musnah harapanku. Semuanya sudah jelas. Tidak ada cinta untukku. Cintaku tidak berbalas. Yang tersisa kini hanyalah rasa sakit yang membuat dadaku ingin meledak. Kepalaku berat. Mataku panas. Hatiku mendidih.
Selama ini, cintalah yang membuatku bisa bertahan kerja di sini. Anehnya, cinta ini juga yang membuatku ingin sekali meninggalkan rumah ini. Aku tidak bisa terus menerus berada dalam kesedihan dan kesengsaraan seperti ini. Aku tidak mungkin mengharapkan orang yang tidak mungkin aku dapatkan. Aku harus mulai melupakannya. Aku sangat tersiksa dengan kehadirannya. Aku akan menyerah saja pada takdir. Takdirku adalah pembantu. Aku tidak sederajat dengan majikanku. Apalagi aku seorang perempuan. Mana mungkin juga aku menyatakan cintaku duluan? Apalagi dengan status sosialku ini. Arrggh! Ternyata, teori yang kubaca tidak benar. Manusia ternyata tidak sama. Tidak sederajat. Apa yang dinamakan sebagai revolusi perancis dengan semboyannya, liberte-egalite-fraternite itu ternyata tidak berlaku padaku. Itu hanya ada dalam buku sejarah. Yang ada dalam dunia ini adalah Si kaya dan si miskin. Si kuat dan si lemah. Si pembantu dan si majikan. Si laki-laki dan si Wanita. Sekali lagi aku menghujat Tuhan. Dia sudah tidak adil padaku. Meski, aku tetap tak berdaya karena aku hanyalah wayang bagiNya. Yang bisa dimainkanNya sekehendakNya, sesuai ceritaNya. Baiklah, aku putuskan besok aku akan pergi dari rumah ini!
Selama ini, cintalah yang membuatku bisa bertahan kerja di sini. Anehnya, cinta ini juga yang membuatku ingin sekali meninggalkan rumah ini. Aku tidak bisa terus menerus berada dalam kesedihan dan kesengsaraan seperti ini. Aku tidak mungkin mengharapkan orang yang tidak mungkin aku dapatkan. Aku harus mulai melupakannya. Aku sangat tersiksa dengan kehadirannya. Aku akan menyerah saja pada takdir. Takdirku adalah pembantu. Aku tidak sederajat dengan majikanku. Apalagi aku seorang perempuan. Mana mungkin juga aku menyatakan cintaku duluan? Apalagi dengan status sosialku ini. Arrggh! Ternyata, teori yang kubaca tidak benar. Manusia ternyata tidak sama. Tidak sederajat. Apa yang dinamakan sebagai revolusi perancis dengan semboyannya, liberte-egalite-fraternite itu ternyata tidak berlaku padaku. Itu hanya ada dalam buku sejarah. Yang ada dalam dunia ini adalah Si kaya dan si miskin. Si kuat dan si lemah. Si pembantu dan si majikan. Si laki-laki dan si Wanita. Sekali lagi aku menghujat Tuhan. Dia sudah tidak adil padaku. Meski, aku tetap tak berdaya karena aku hanyalah wayang bagiNya. Yang bisa dimainkanNya sekehendakNya, sesuai ceritaNya. Baiklah, aku putuskan besok aku akan pergi dari rumah ini!
Keputusanku mengejutkan semua pihak kecuali Pak Fredy Selepas keluarga itu sarapan aku langsung membuka mulut dan berbicara kepada seluruh keluarga yang ada disitu. Awalnya ada sedikit keraguan. Paru paruku seperti kehabisan oksigen. Hampir saja mataku mengeluarkan bulir-bulir air mata. Meski akhirnya, aku bisa mengucapkan kalimat perpisahan itu dengan lancar. Pak Fredy, engkau sama sekali tidak kaget ataupun sedih.Hal ini sangat menyakitkan dan semakin membulatkan tekadku angkat kaki dari rumah ini.
“Lho…ada apa sebenarnya ini?” Tanya Bu Fredy menanggapi keputusanku.
“Ini semuanya ada hubungannya dengan keluargaku di Garut, Bu.” Untunglah kalimat yang sudah kuhapal berulangkali semalaman ini meluncur dengan lancar seperti mobil yang berkendara di jalan tol di pagi buta.
“Ini semuanya ada hubungannya dengan keluargaku di Garut, Bu.” Untunglah kalimat yang sudah kuhapal berulangkali semalaman ini meluncur dengan lancar seperti mobil yang berkendara di jalan tol di pagi buta.
“Sudahlah Bu, tidak usah dipermasalahkan. Putri pasti punya alasan.” Pak Fredy angkat bicara. Ini sungguh membuatku terkejut. Aku berharap dia mencegahku, tapi… Ternyata, kau tidak pernah mencintaiku. Aku merasa orang paling bodoh sedunia.
Ya Tuhan,,,,, Perih! Perih sekali rasanya hati ini! Pak Fredy tak sedikitpun mempertanyakan kepergianku yang mendadak ini. Ia bahkan tidak terkejut. Responnya datar sekali. Sedatar grafik nilai Matematika murid-murid di madrasahku dulu. Perlakuannya di meja makan tadi sama saja mengusirku secara halus. Ya Tuhan hatiku benar-benar hancur diperlakukan seperti itu. Hatiku seperti kaca yang pecah. Retak dan berserakan kemana-mana. Mulutku terkunci. Kakiku lunglai. Aku tidak tahan jika harus terus berdiri disini. Aku segera ke kamar. Membereskan semua barangku yang cuma terdiri dari dua tas jelek berisi baju murahan dan pamit. Aku harus segera menyudahi penderitaan ini.
“Jika kamu berubah pikiran, tolong kembali.” Bu Fredy memelukku. Erat sekali. Matanya merah dan butir bening mengintip di sudut matanya. Aku terharu. Aku kasihan terhadap wanita ini. Selama aku bekerja di sini, ia tak pernah bersikap kasar. Sebaliknya, sepertinya ia sangat tahu posisiku dan bagaimana rasanya jadi pembantu. Tapi sepertinya, lukaku sudah menganga terlalu dalam. Terharu dan kasihan terhadap wanita ini tidak cukup untuk mengobati perasaanku yang terkoyak.
***
Aku sedang duduk di bangku terminal. Mataku sembab. Aku tidak malu menangis dari tadi. Meski orang lalu lalang di depanku. Mereka pasti berfikir aku tersesat. Tapi tidak ada yang peduli. Tidak ada yang pernah tahu, hatiku hancur berantakan. Beginilah ibukota. Memang benar, ibukota ternyata lebih kejam dari ibu tiri.
Aku sedang duduk di bangku terminal. Mataku sembab. Aku tidak malu menangis dari tadi. Meski orang lalu lalang di depanku. Mereka pasti berfikir aku tersesat. Tapi tidak ada yang peduli. Tidak ada yang pernah tahu, hatiku hancur berantakan. Beginilah ibukota. Memang benar, ibukota ternyata lebih kejam dari ibu tiri.
Sapu tanganku sudah basah oleh air mata dan ingus yang keluar dari hidung karena menangis. Tidak cukup rasanya menumpahkan air mata. Aku benar-benar sedih. Aku sangat kecewa. Aku juga benci. Aku benci sekali. Aku menyesal bertemu denganmu, Pak Fredy. Aku benci, Bapak!
Tiba-tiba saja pundakku ditepuk orang. Mang Wawan, penjaga gerbang rumah majikanku sudah berdiri di depanku.
“Putri, bapak menyuruhku menyusulmu.” Ia menyodorkan amplop.
Aku terperangah. Seberkas sinar menyelinap dalam hatiku yang sedari tadi gelap gulita. Ada secercah harapan. Dengan rasa penasaran yang dahsyat, aku buka amplop itu. Tangan bergetar. Hatiku dag dig dug tak karuan. Apa ini?
PUTRI, MAAFKAN AKU. AKU TAHU PERASAANMU. AKU SANGAT MENGHARGAINYA. TAPI, AKU TIDAK MAU, KEJADIAN SEPULUH TAHUN TERULANG. KAMU TAHU? BU FREDY ADALAH PEMBANTU KAMI DULU. AYAHKU SAKIT DAN MENINGGAL SETELAH TAHU AKU MENCINTAI DAN MENIKAHINYA.
SELAMAT TINGGAL, PUTRI.
FREDY.
Aku pingsan.