Butterfly

Senin, 18 Juni 2012

Gotong Royong Cerminkan Siri’ di Toraja



Kebudayaan lokal Tana Toraja tidak dapat dipisahkan dengan istilah Siri'. Bagi suku Toraja pada hakikatnya Siri' sama dengan harga diri sebagai manusia. Istilah ini sering dihubungkan dengan penggarisan leluhur, Aluk Sola Pamali. Penggarisan ini menggambarkan jika seseorang yang tidak mempedulikan Siri Tuo atau Siri Mate artinya tidak menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, tidak menjunjung tinggi hakekat hidup dan kehidupan.

Hal ini dikemukakan Dosen Sastra Unhas, Prof Dr C Salombe, dalam sebuah buku berjudul Siri' dan Passe'. "Siri juga dijadikan pandangan hidup yang tersimpan dan ditemukan dalam mitos-mitos mereka. Seperti dalam nyanyian pujaan uang diucapkan seorang Tominaa (petugas ahli adat istiadat tradisional)," tambahnya.

Pandangan itu juga tertuang dalam upacara sukuran tradisional sebelum menyembelih hewan kurban, seperti dalam upacara pasomba tedong. Dalam upacara ini dijelaskan leluhur manusia, hewan, tumbuhan, dan benda alam liannya diciptakan sang puang matua dari dalam 'Sauan Sibarrung' (embusan kembar). "Setelah penciptaan itu, atas kehendak masing-masing dan direstui oleh Puang Matuang, maka leluhur hewan, tumbuhan, dan benda alam lainnya memilih jaln hidupnya sendiri-sendiri demi tanggungjawabnya terhadap kesejahteraan bersama," ujarnya.

Namun perpihan itu tidak membuat mereka tidak saling bekerjasama. Keberadaan dan kehadiran manusia, hewan, tumbuhan, dan benda alam lainnya ada untaian solidaritas gotong royong kekerabatan di antara mereka. Dalam kacamata pandangan hidup suku Toraja, solidarita itu dapat dikatakan sebagai semangat atau tindakan mengabdikan diri seutuhnya dan setulus-tulusnya kepada kesejahteraan bersama.

"Hal ini tergambar secara verbal dalam mitos Takkebuku leluhur padi. Kesadaran dan kesdiaan berkorban dengan tulus dan ikhlas untuk sesama harus dijunjung tinggi dan dilaksanakan sebagai sesuatu yang mutlak. Bahkan harus dipandang sebagai satu-satunya jalan hidup setiap makhluk demi kesejahteraan bersama," katanya.

Dari gambaran pandangan hidup masyarakat tradisional Toraja tersebut, harkat dan martabat seseorang dapat dilihat dan diukur dengan tingkat semangat dan usahanya. Menyatukan dirinya dengan untaian solidaritas gotong royong kekerabatan. "Rasa egoisme dapat terlihat jika seseorang acuh tak acuh terhadap jenazah seseorang anggota keluarga untuk menguburkan dengan wajar sesuai tradisi. Sifat ini mencerminkan seseorang tidak menjungjung tinggi harkat dan martabat, baik yang meninggal maupun keluarga, bahkan menjadi penghianat untaian solidaritas tersebut," jelasnya.

Jika siri' telah tertanam dalam diri pribadi seseorang, tambahnya, maka setiap ada keluarga yang meninggal dunia, semua masyarakat akan berbondong-bondong datang berbelasungkawa dan dan saling bergotong royong melaksanakan upacara penguburan jenazah. Saat penguburan pun akan terlihat kerjasama mengorbankan hewan dan harta benda yang mungkin akan terkesan pemborosan bagi orang lain.
Begitu pula saat terjadi hubungan seksual tidak sah, menikahi saudara kandung atau hubungan seksual antara orang tua dengan anaknya, juga termasuk melanggar siri'. Pelanggaran ini menunjukkan tidakan tidak setia dengan solidaritas gotong royong kekerabatan alam semesta dan rumpun keluarga sebagai satu ekosistem. "Dalam tradisi Tana Toraja, bagi orang yang tidak setia terhadap solidaritas itu akan mendapat hukuman berat. Seperti mebakas hangus para pelakunya atau menenggalmkannya ke dalam palung sungai. Bahkan membakar hewan atau pakaian para pelaku. Jika tidak dilakukan, menurut mereka, malapetaka akan melanda kampung mereka, baik bagi keluarga maupun kesejahteraan bersama,"