Butuh sekitar Rp50 miliar untuk menuntaskan seluruh rangkaian upacara adat Rambu Solo’ atau upacara kematian di Tana Toraja. Namun, bagi warga Tana Toraja, ini adalah bentuk pengabdian terhadap leluhur mereka. Rambu Solo’adalah upacara kematian yang dilestarikan secara turun temurun dari penganut Aluk To Dolo (kepercayaan masyarakat Toraja sebelum masuknya Islam dan Nasrani) di daerah ini.
Upacara adat ini adalah salah satu daya tarik wisatawan domestik dan mancanegara. Selasa (27/12), jenazah Filipus Tappi atau dikenal dengan Ne' Sarrin dipindahkan dari tongkonan ke sebuah menara atau disebut lakkean oleh warga setempat. Lakkean ini dibangun di atas tanah lapang sebagai lokasi upacara adat yang disebut rante.
Upacara adat ini dilaksanakan oleh warga di Sereale, Kecamatan Tikala, Toraja Utara. Sebelumnya, jasad disimpan di Tongkonan selama dua hari sebelum dipindahkan ke rante. Prosesi pemindahan jenazah cukup unik. Jenazah diarak menggunakan duba-duba (keranda khas Toraja). Di depan duba-duba terdapat lamba-lamba (kain merah yang panjang, di depan keranda jenazah), dan dalam prosesi pengarakan ini kain tersebut ditarik oleh para wanita.
Sementara keranda diangkat oleh laki-laki. Dalam arak-arakan terdapat urut-urutan yakni pertama ada orang yang membawa gong besar. Selanjutnya diikuti dengan tompi saratu (atau yang biasa kita kenal dengan umbul-umbul), lalu di belakang tompi saratu diikuti lamba-lamba dan yang terakhir barulah duba-duba. Jasad diarak dari Tongkonan di Limbong sekitar dua kilometer dari lokasi upacara adat ini.
Sesampainya di rante, jasad kemudian disemayamkan di lakean sebelum akhirnya dikuburkan. Jenazah ditempatkan di lakkean paling tertinggi yakni di lantai. Di lantai paling bawah terdapat patung mendiang dalam posisi duduk yang dibuat semirip mungkin. Patung ini terbuat dari batu yang diukir. Lakkean yang menyerupai menara ini merupakan bangunan yang paling tinggi di antara bangunan lain di sekitarnya.
Di sekitar lakkean terdapat lantang-lantang yang terbuat dari bambu dengan bentuk rumah adat Toraja. Lantang ini berfungsi sebagai tempat tinggal sementara para sanak keluarga yang datang. Lantang ini diberi nomor .Ada 120 nomor. Keluarga mendiang umumnya mengenakan pakaian serba hitam. Sementara itu, di rante sudah siap puluhan ekor kerbau yang telah dipersembahkan oleh keluarga dan kerabat mendiang.
Kerbau diikat pada batang pinang yang sudah berbuah, ditanam di tengah rante. Sejumlah warga menyebutkan, tanah lapang ini adalah bekas sekolah SD Limbong Sereale Kecamatan Tikala Kabupaten Toraja Utara. Sekolah ini sengaja dirubuhkan beberapa waktu lalu karena akan digunakan sebagai lokasi upacara adat.
“Setelah upacara ini akan dibangun kembali. Muridnya ditampung sementara dan dibikinkan petak sementara,” kata seorang warga di lokasi upacara adat. Seusai jenazah disemayamkan di lakkean, selanjutnya, salah satu bagian dari upacara adat kematian yang unik adalah mengadu kerbau. Dua hewan ini diadu kekuatan yang oleh warga setempat menyebutnya Ma'pasilaga Tedong. Ma'pasilaga tedong dilakukan di atas tanah lapang berlumpur di belakang rumah warga.
Di areal seluas 50 kali 50 meter. Bak ring tinju, sekeliling arena diberi pembatas agar hewan yang beradu tidak keluar. Pembatas itu terbuat dari bambu yang melintang setinggi sekitar satu meter. Tak ada tribun atau tempat khusus bagi penonton. Penonton hanya duduk atau berdiri di pematang atau gundukan tanah. Sebagian lainnya di atas pohon atau duduk di atas batu cadas, mencari tempat yang aman.
Aroma lumpur yang menyengat tak menyurutkan niat penonton menyaksikan ma'pasilaga tedong yang hanya digelar saat upacara kematian. Pertarungan yang sesungguhnya dimulai. Satu lawan satu. Penonton pun mulai bersorak. Jika salah satu kerbau aduan lari meninggalkan arena, maka dianggap kalah. Ada puluhan kerbau yang diadu. Sementara di luar arena, sebagian penonton bertaruh uang.
Ma'pasilaga tedong hanya salah satu dari sekian banyak prosesi yang dilaksanakan oleh keluarga yang berduka. Ketua Asosiasi Pemandu dan Pemangku Adat Toraja, Pong Barumbun mengatakan, upacara Rambu Solo’ oleh penganut aluk to dolo dimaksudkan untuk mengantar arwah ke nirwana. “Ada juga penafsiran bahwa Rambu Solo’ adalah penghormatan kepada orang tua. Karena itu, mayat ditempatkan di tempat paling teratas karena ini penghormatan terkahir, apalagi Ne Sarrin adalah bangsawan di daerah ini,” kata Pong Barumbun.
Kepercayaan Aluk To Dolo, kata dia, sebelum masuknya Islam dan Nasrani, setiap pemakaman bangsawan harus dikorbankan manusia atau penyembelihan manusia. Namun, seiring dengan perkembangan zaman dan masuknya misionaris dari Belanda, akhirnya tradisi memotong kepala manusia tidak lagi dilaksanakan karena dianggap tidak manusiawi.
“Penyembelihan kepala manusia diganti dengan adu ayam,” katanya. Pong Barumbun menjelaskan, prosesi Rambu Solo’disesuaikan dengan strata sosial dalam mayarakat. Hal ini dapat dibedakan dari jumlah kerbau yang dipersembahkan. “Saya perkirakan dana yang dibutuhkan sekitar Rp40 miliar sampai Rp50 miliar untuk melaksanakan upacara rambu solo ini. Angka ini rasional sebab harga kerbau sekitar Rp 350 juta perekor,” katanya.
Salah seorang putra mendiang Ne' Sarrin, Yohannes Tappi mengatakan, ada sekitar 200 ekor kerbau yang dipersembahkan oleh sanak keluarnya. Selain itu, ada sekitar 500 ekor babi yang akan dipotong dalam upacara ini. Anak mantu mendiang, JM Lulun Bara menambahkan, menyumbangkan tujuh ekor kerbau yang masing-masing seharga sekitar Rp290 juta. Bagi dia, ini adalah bentuk pengabdiannya terhadap orang tuanya. “Satu ekor kerbau dibeli 290 juta. Saya sendiri menyumbang 7 ekor,” kata dia.
Mendiang Ne' Sarrin meninggal dalam usia 83 tahun pada 8 Maret 2010, namun upacara Rambu Solo’ baru dilaksanakan pertengahan Desember. Selama disemayamkan, jasad disuntik dengan formalin agar tetap awet sampai upacara Rambu Solo’ dilaksanakan. Selanjutnya, jasad akan dipindahkan dari lakkean ke tempat pemakaman yang terletak di bukit yang dipahat. Rencananya, pemindahan akan dilaksanakan pada 31 Desember. “Dikubur dalam liang batu yang dipahat,” kata dia.
Sumber : http://www.sangtorayan.com
Upacara adat ini adalah salah satu daya tarik wisatawan domestik dan mancanegara. Selasa (27/12), jenazah Filipus Tappi atau dikenal dengan Ne' Sarrin dipindahkan dari tongkonan ke sebuah menara atau disebut lakkean oleh warga setempat. Lakkean ini dibangun di atas tanah lapang sebagai lokasi upacara adat yang disebut rante.
Upacara adat ini dilaksanakan oleh warga di Sereale, Kecamatan Tikala, Toraja Utara. Sebelumnya, jasad disimpan di Tongkonan selama dua hari sebelum dipindahkan ke rante. Prosesi pemindahan jenazah cukup unik. Jenazah diarak menggunakan duba-duba (keranda khas Toraja). Di depan duba-duba terdapat lamba-lamba (kain merah yang panjang, di depan keranda jenazah), dan dalam prosesi pengarakan ini kain tersebut ditarik oleh para wanita.
Sementara keranda diangkat oleh laki-laki. Dalam arak-arakan terdapat urut-urutan yakni pertama ada orang yang membawa gong besar. Selanjutnya diikuti dengan tompi saratu (atau yang biasa kita kenal dengan umbul-umbul), lalu di belakang tompi saratu diikuti lamba-lamba dan yang terakhir barulah duba-duba. Jasad diarak dari Tongkonan di Limbong sekitar dua kilometer dari lokasi upacara adat ini.
Sesampainya di rante, jasad kemudian disemayamkan di lakean sebelum akhirnya dikuburkan. Jenazah ditempatkan di lakkean paling tertinggi yakni di lantai. Di lantai paling bawah terdapat patung mendiang dalam posisi duduk yang dibuat semirip mungkin. Patung ini terbuat dari batu yang diukir. Lakkean yang menyerupai menara ini merupakan bangunan yang paling tinggi di antara bangunan lain di sekitarnya.
Di sekitar lakkean terdapat lantang-lantang yang terbuat dari bambu dengan bentuk rumah adat Toraja. Lantang ini berfungsi sebagai tempat tinggal sementara para sanak keluarga yang datang. Lantang ini diberi nomor .Ada 120 nomor. Keluarga mendiang umumnya mengenakan pakaian serba hitam. Sementara itu, di rante sudah siap puluhan ekor kerbau yang telah dipersembahkan oleh keluarga dan kerabat mendiang.
Kerbau diikat pada batang pinang yang sudah berbuah, ditanam di tengah rante. Sejumlah warga menyebutkan, tanah lapang ini adalah bekas sekolah SD Limbong Sereale Kecamatan Tikala Kabupaten Toraja Utara. Sekolah ini sengaja dirubuhkan beberapa waktu lalu karena akan digunakan sebagai lokasi upacara adat.
“Setelah upacara ini akan dibangun kembali. Muridnya ditampung sementara dan dibikinkan petak sementara,” kata seorang warga di lokasi upacara adat. Seusai jenazah disemayamkan di lakkean, selanjutnya, salah satu bagian dari upacara adat kematian yang unik adalah mengadu kerbau. Dua hewan ini diadu kekuatan yang oleh warga setempat menyebutnya Ma'pasilaga Tedong. Ma'pasilaga tedong dilakukan di atas tanah lapang berlumpur di belakang rumah warga.
Di areal seluas 50 kali 50 meter. Bak ring tinju, sekeliling arena diberi pembatas agar hewan yang beradu tidak keluar. Pembatas itu terbuat dari bambu yang melintang setinggi sekitar satu meter. Tak ada tribun atau tempat khusus bagi penonton. Penonton hanya duduk atau berdiri di pematang atau gundukan tanah. Sebagian lainnya di atas pohon atau duduk di atas batu cadas, mencari tempat yang aman.
Aroma lumpur yang menyengat tak menyurutkan niat penonton menyaksikan ma'pasilaga tedong yang hanya digelar saat upacara kematian. Pertarungan yang sesungguhnya dimulai. Satu lawan satu. Penonton pun mulai bersorak. Jika salah satu kerbau aduan lari meninggalkan arena, maka dianggap kalah. Ada puluhan kerbau yang diadu. Sementara di luar arena, sebagian penonton bertaruh uang.
Ma'pasilaga tedong hanya salah satu dari sekian banyak prosesi yang dilaksanakan oleh keluarga yang berduka. Ketua Asosiasi Pemandu dan Pemangku Adat Toraja, Pong Barumbun mengatakan, upacara Rambu Solo’ oleh penganut aluk to dolo dimaksudkan untuk mengantar arwah ke nirwana. “Ada juga penafsiran bahwa Rambu Solo’ adalah penghormatan kepada orang tua. Karena itu, mayat ditempatkan di tempat paling teratas karena ini penghormatan terkahir, apalagi Ne Sarrin adalah bangsawan di daerah ini,” kata Pong Barumbun.
Kepercayaan Aluk To Dolo, kata dia, sebelum masuknya Islam dan Nasrani, setiap pemakaman bangsawan harus dikorbankan manusia atau penyembelihan manusia. Namun, seiring dengan perkembangan zaman dan masuknya misionaris dari Belanda, akhirnya tradisi memotong kepala manusia tidak lagi dilaksanakan karena dianggap tidak manusiawi.
“Penyembelihan kepala manusia diganti dengan adu ayam,” katanya. Pong Barumbun menjelaskan, prosesi Rambu Solo’disesuaikan dengan strata sosial dalam mayarakat. Hal ini dapat dibedakan dari jumlah kerbau yang dipersembahkan. “Saya perkirakan dana yang dibutuhkan sekitar Rp40 miliar sampai Rp50 miliar untuk melaksanakan upacara rambu solo ini. Angka ini rasional sebab harga kerbau sekitar Rp 350 juta perekor,” katanya.
Salah seorang putra mendiang Ne' Sarrin, Yohannes Tappi mengatakan, ada sekitar 200 ekor kerbau yang dipersembahkan oleh sanak keluarnya. Selain itu, ada sekitar 500 ekor babi yang akan dipotong dalam upacara ini. Anak mantu mendiang, JM Lulun Bara menambahkan, menyumbangkan tujuh ekor kerbau yang masing-masing seharga sekitar Rp290 juta. Bagi dia, ini adalah bentuk pengabdiannya terhadap orang tuanya. “Satu ekor kerbau dibeli 290 juta. Saya sendiri menyumbang 7 ekor,” kata dia.
Mendiang Ne' Sarrin meninggal dalam usia 83 tahun pada 8 Maret 2010, namun upacara Rambu Solo’ baru dilaksanakan pertengahan Desember. Selama disemayamkan, jasad disuntik dengan formalin agar tetap awet sampai upacara Rambu Solo’ dilaksanakan. Selanjutnya, jasad akan dipindahkan dari lakkean ke tempat pemakaman yang terletak di bukit yang dipahat. Rencananya, pemindahan akan dilaksanakan pada 31 Desember. “Dikubur dalam liang batu yang dipahat,” kata dia.
Sumber : http://www.sangtorayan.com